Minggu, 29 Mei 2016

Komisaris Bank Harus Kompeten HINDARI POLITIK "BALAS BUDI" DI MANAJEMEN BANK BUMN

Jakarta - Bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat seharusnya dikelola oleh orang-orang kompeten dan berpengalaman agar bank bisa menjadi Agent of Development di Indonesia. Apalagi Bank BUMN milik pemerintah wajib menjadi motor pembiayaan pembangunan infrastruktur yang kini digencarkan oleh Presiden Joko Widodo. Namun, sangat keliru besar jika ada Bank BUMN dijadikan komoditas bargaining politik balas budi, dengan memberikan jabatan Komisaris kepada individu yang diragukan kompetensinya.
NERACA
Menurut sumber perbankan kepada Neraca, pekan ini, kondisi penempatan calon komisaris dan direksi di Bank Mandiri, dimana terlihat jelas ketika Kementerian BUMN hendak merombak susunan direksi dan komisaris Bank Mandiri. Nama calon Cahaya Dewi Cemerlang Sinaga (tim relawan Jokowi) dan Goei Siaw Hong, pengamat pasar modal yang sudah tak terdengar namanya sejak 10 tahun terakhir ini, ramai dipergunjingkan di kalangan perbankan.
Meski pada akhirnya nama kedua orang itu masuk dalam jajaran komisaris baru Bank Mandiri sesuai keputusan RUPS pekan ini, kalangan bankir menyayangkan sikap pemerintah selaku pemegang saham kurang memperhatikan good governance yang selama ini didengung-dengungkan untuk menjaga kredibilitas bank BUMN tetap pruden di mata publik.
Menurut Eko B. Supriyanto, CEO The Finance, para bankir BUMN dari dalam sebenarnya cukup untuk mempertahankan kinerja perbankan. "Kuncinya, bank-bank BUMN dijauhkan dari kepentingan tertentu, bisnis bank itu beda dengan bisnis furnitur atau batu bara. Bisnis bank itu sarat aturan dan modal dengan sumber daya manusia yang penjadi peran strategis," ujarnya.
Dari pergantian direksi dan komisaris di Bank Mandiri dan BNI, posisi direksi tampaknya bertukar tempat. Hal itu bisa dilihat dari posisi Sulaiman Arif, semula direksi BRI ke Mandiri. Dan, Achmad Baiquni semula direktur BRI menjadi dirut BNI. Sementara pengamat ekonomi yang juga mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli sekarang menjadi komisaris utama BNI bersama Revrisond Baswir sebagai komisarisnya.
Eko mengatakan memang bukan rahasia umum bahwa bank-bank BUMN menjadi lahan kepentingan politisi. Sebenarnya posisi komisaris dan direksi perbankan merupakan posisi yang memerlukan kualifikasi yang baik bidang perbankan. Oleh karenanya, sudah saatnya tarik ulur dalam penempatan komisaris dan direksi Bank BUMN harus dihindari.
“Jangan sampai bank-bank BUMN menjadi tempat titipan para politisi,” ujarnya kepada Neraca, Selasa (17/3). Dia pun mencontohkan hal ini terjadi tarik ulur dalam penempatan susunan direksi dan komisaris Bank Mandiri. Untuk itu, lanjut Eko, untuk jajaran direksi dan komisaris BUMN yang akan dalam pekan ini harus dihindarkan dari politisasi dan harus diisi oleh bankir yang profesional.
OJK Harus Waspada
Pengamat ekonomi A. Prasetyantoko mengatakan seharusnya pemerintah tidak menempatkan orang sembarangan untuk menjabat direksi atau komisaris di bank BUMN. Apalagi hanya untuk politik balas jasa, ini tidak dapat dibenarkan sama sekali.
"Sudah seharusnya bank BUMN dikelola oleh orang-orang profesional dan berpengalaman agar bisa menjadi agent of development di Indonesia,"ujarnya.
Menurut Prasetyantoko ada beberapa langkah dalam meningkatkan kinerja bank BUMN atau yaitu revisi UU No. 17 Tahun 2003, hilangkan intervensi non korporasi, dan tidak menempatkan orang-orang yang tidak profesional di bank BUMN. "Jika hal itu dilakukan secara bersamaan dipastikan daya saing bank BUMN akan jauh meningkat yang pada akhirnya mendorong kinerja keuangan," kata dia.
Dengan revisi UU No. 17/2003 pasal 2 huruf g, maka 7 UU yang selama ini menghambat kelincahan bank BUMN akan berkurang menjadi 3 UU saja seperti halnya perusahaan swasta. Saat ini ia menjelaskan bank BUMN dijejali sebanyak 7 Undang-Undang yang membuat perusahaan milik negara tidak lincah bergerak seperti layaknya perusahaan swasta.
Faktor kedua, bagaimana agar bank BUMN terhindar dari intervensi korporasi. "Intervensi itu masih kental, baik intervensi politik maupun intervensi perorangan. Ini yang harus dibasmi seminimal mungkin," ujarnya.
Eko pun meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan seleksi yang ketat pada calon komisaris independen bank BUMN. Posisi komisaris dan direksi perbankan merupakan posisi yang memerlukan kualifikasi yang baik dalam bidang perbankan. Dia juga berharap OJK dapat melakukan fungsinya dengan baik dalam fit and proper test pimpinan bank, khususnya bank BUMN.
Rektor Kwik Kian Gie School of Business Prof Dr Anthony Budiawan menilai, terpilihnya tim sukses Jokowi di beberapa komisaris bank BUMN merupakan hal yang pasti. Karena, menurut dia, hal itu merupakan politik balas budi yang memang sudah biasa dilakukan. “Ini pasti akan terjadi (politik balas budi) sehingga tidak heran tim suksesnya bisa masuk ke perbankan BUMN,” ujarnya.
Dia mengatakan dengan masuknya beberapa tim sukses Jokowi, bisa mempengaruhi kinerja perbankan. Namun, kata dia, balik lagi kepada kepribadian dan profil masing-masing komisaris. “Tergantung orangnya bisa memberikan pengaruh positif atau negatif kepada perbankan terlebih jika memberikan tekanan,” jelasnya.
Anthony sepakat jika komisaris perbankan harus melalui proses seleksi yang ketat. Mengingat tugas dari komisaris adalah fungsi pengawasan sehingga komisaris perbankan BUMN perlu mengerti operasional perbankan dan dunia perbankan secara mendalam. “Perlu diseleksi, jadi jangan hanya direksinya yang diseleksi namun juga komisarisnya juga perlu,” cetusnya.
Terlebih, kata dia, saat ini Indonesia sedang mempersiapkan untuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dan nantinya juga bidang keuangan sehingga perbankan BUMN perlu menyiapkan segala sesuatunya sehingga bisa bersaing di pasar ASEAN. “Bank-bank BUMN di Indonesia belum sebaik yang di Malaysia dan Singapura sehingga perlu transformasi lebih baik lagi, salah satunya dengan unsur pengawasan yang dilakukan oleh komisaris. Jadi jangan hanya menerima gaji besar saja namun juga tunjukan kemampuannya,” ujarnya.
Pengamat ekonomi UI Aris Yunanto mengatakan, manajemen Bank Mandiri memasukan komisaris dan direksi dari orang partai sah-sah saja, asalkan punya kapabilitas dan kemampuan untuk memajukan bank tersebut. Tapi jika hanya dimasukan begitu saja tidak punya background apalagi kemampuan di dunia perbankan atau industri jasa keuangan itu yang tidak boleh. "Boleh saja orang dari politik masuk, tapi dengan catatan mereka memang mampu membawa perubahan lebih baik," katanya.
Oleh karenanya, dalam fit and proper testnya nantinya di OJK harus benar-benar selektif dalam mememilih mereka. Kalau pun mereka harus masuk dalam lingkaran pujuk kepemimpinan memang benar atas dasar kemampuan mereka bukan karena memang titipan Presiden. "OJK dan Kementerian BUMN harus benar-benar selektif dan ketat saat melakukan test kepada mereka," imbuhnya.
Selain itu, seandainya mereka memang masuk dalam kepemimpinan Bank BUMN, maka harus dilihat kinerja perbankan plat merah itu di kemudian hari. Jika keuntungannya berkurang maka mereka harus siap mengundurkan diri, dan itu harus tertuang dalam pakta integritas yang mereka tanda tangani. "Indikator kemampuan mereka bisa dilihat dalam satu tahun ke depan, jika memang kondisi bank bagus maka boleh dipertahankan. Tapi kinerja perbankan jelek, maka mereka harus siap mengundurkan diri," tandasnya. 
sumber:neraca.co.id

Kepemilikan Asing Tak Terkendali RUU PERBANKAN BATASI MODAL ASING

Jakarta- Kepemilikan pemodal asing dalam perbankan kita memang perlu ditata ulang melalui RUU Perbankan yang sekarang lagi digodok di DPR. Karena dominasi kepemilikan oleh asing di perbankan nasional, bukanlah praktik yang sehat dalam tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Pemerintahan baru saatnya merevisi kembali PP No 29/1999 yang kontroversial buka peluang asing kuasai hingga 99% saham bank lokal.
NERACA
Menurut pengamat perbankan Aviliani, kalangan perbankan harus ikut mengawal RUU Perbankan yang sekarang lagi dibahas di DPR, karena pada dasarnya undang-undang tersebut yang menjalankan adalah pihak perbankan. Salah satu yang perlu diawasi, kata dia, adalah soal kepemilikan saham asing di bank nasional. Saat ini tercatat 25 bank nasional yang sebagian besar besarnya sahamnya dimiliki asing.
Menurut dia, kepemilikan saham asing di bank nasional sudah tidak terkendali sehingga otoritas moneter Indonesia harus membatasi kepemilikan saham asing tersebut jika ingin lebih mengutamakan kepentingan perekonomian nasional. "Kepemilikan saham asing di bank nasional tidak terkendali," ujarnya kepada Neraca, akhir pekan lalu.
Aviliani mengatakan, otoritas seharusnya tidak begitu saja memperkenankan asing memiliki saham perbankan nasional tanpa batasan yang cukup. Apalagi bank yang masuk itu kebanyakan bank-bank yang termasuk kategori consumer bank, yang lebih memilih menyalurkan kredit konsumtif seperti kartu kredit dan kredit tanpa agunan (KTA).
Sementara penyaluran kredit untuk sektor produktif dan strategis seperti untuk infrastruktur, UKM, dan pertanian lebih banyak dilakukan oleh bank BUMN atau milik Pemda. "Kita tidak anti asing karena kita memang masih membutuhkan mereka karena mereka memiliki modal dan teknologi. Namun kita harus bisa mengendalikannya," kata Aviliani.
Lebih jauh lagi, Aviliani mengakui perbankan nasional belum ada yang berskala ASEAN. Sehingga dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), perbankan nasional akan kalah bersaing. Maka dari itu, ia menyarankan agar bank-bank besar milik pemerintah untuk berkonsolidasi. “Kalau ingin bersaing maka perlu konsolidasi, tanpa harus merger, terlebih saat ini 60% pangsa pasar dikuasai bank-bank besar,” katanya.
Tidak Lebih 50%
Di negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Korea Selatan, dan Australia, kepemilikan saham perbankannya menyebar ke banyak investor, dan tidak ada satu investor yang menguasai saham lebih dari 50%. Dengan kata lain, kalau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harusnya mampu menekan kepemilikan saham satu investor maksimal 40% sesuai salah satu pasal RUU Perbankan itu. Dan, harusnya investor asing yang kini menjadi pemilik modal mayoritas tidak keberatan dengan ketentuan baru dalam RUU tersebut.
Yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai terjadi rekayasa pembelian saham oleh investor yang sama melalui teknik pendirian SPV (special purpose vehicle). Karenanya, kerja sama yang intensif antara BI dan OJK penting dilakukan. Namun demikian, tentunya ketentuan maksimal kepemilikan saham pada bank perlu dibedakan antara bank milik pemerintah dengan swasta.
Sebelumnya sejumlah bankir lokal mengungkapkan, cara yang paling elegan adalah merevisi PP No. 29/1999 sehingga memungkinkan investor lokal (pemerintah, BUMN, dan swasta) dapat memiliki saham dari pemilik asing yang kini mendominasi pada suatu bank. Tidak hanya PP No. 29/1999, Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2007 yang merupakan penjabaran dari UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal juga perlu diubah. Ini mengingat, Perpres No. 77/2007 juga mengatur kepemilikan investor asing pada perbankan nasional hingga 99%. Oleh karenanya, pembahasan yang insentif antara OJK dan BI perlu dilakukan untuk mengubah ketentuan kepemilikan maksimal oleh investor asing dalam industri perbankan.
Pengamat ekonomi yang juga Rektor Kwik Kian Gie School of Business Prof Dr Anthony Budiawan mendukung akan pembahasan RUU Perbankan yang baru, dimana terdapat juga pasal mengenai pembatasan kepemilikan asing maksimum 40% dan berlaku surut. Namun, pihak DPR maupun pemerintah harus bisa menjelaskan lebih rinci lagi mengenai bagaimana dan mengapa kepemilikan asing ini harus dibatasi hanya sampai 40% saja sehingga pihak pelaku perbankan dapat memahami mengenai kebijakan ini.
“Saya lebih melihat kebijakan pembatasan kepemilikan asing dikarenakan faktor nasionalisme dimana Indonesia harus memperkuat kondisi perbankan sendiri, tanpa ada dominasi asing dalam perbankan,” kata dia.
Menurut dia, keberadaan kepemilikan asing ini juga terkait dengan asas resiprokal bagi bank asing yang beroperasi di Indonesia. Kebijakan di Indonesia dinilai terlalu liberal bagi operasional bank asing. Sebaliknya, bank-bank Indonesia sendiri kesulitan berekspansi ke negara lain.
Anthony menyetujui bahwa kepemilikan bank asing bisa dibatasi dengan bertujuaan supaya kuatnya kendali asing atas kebijakan pengelolaan bank sangat mungkin untuk menahan suku bunga kredit tetap tinggi bisa dikurangi sehinggasekubunga kredir dan suku bungapinjaman tidak terlalu tinggi. Memang selama ini, asing Motifnya lebih pada prinsip bisnis untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya atau bisnis oriented.
Dia pun menambahkan memang pro-kontra keberadaan modal asing ini kembali mengemuka dalam industri perbankan nasional. Tentu saja isunya bukan lagi soal boleh tidaknya investor asing berinvestasi pada bank nasional, tapi seberapa besar modal asing boleh menguasai struktur permodalan.
“Dominasi asing yang cenderung membesar akhir-akhir ini memang menimbulkan berbagai kekhawatiran. Usulan pembatasan porsi kepemilikan asing pun mencuat.Namun, perlu juga dampak dipikirkan mengenai pembatasan kepemilikan asing ini, dimana akan berkurangnya porsi kepemilikan asing di suatu bank, maka apakah ada yang mau membeli saham bank asing yang dibatasi tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan penguatan bank nasional secara modal dan kinerja sehingga bisa menambal kepemilikan asing yang dominan tersebut,” ungkap Anthony.
Dia menuturkan memang seharusnya kalangan perbankan nasional terus mengawal RUU Perbankan ini supaya terlaksana dengan baik dan menguntungkan bagi perbankan nasional. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kepemilikan asing sudah sangat besar di beberapa bank, masih banyak praktisi perbankan yang akan membela kepemilikanasing di perbankan nasional.
Peneliti Indef Eko Listiyanto mengatakan, PP No. 29/1999 terkait dengan perbankan nasional dibuat pada saat industri perbankan sedang mengalami krisis. Melihat kondisi saat ini dimana situasi industri perbankan saat ini sudah jauh berbeda dan lebih mapan maka sudah saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan akan perubahan aturan itu agar investor asing tidak mendominasi permodalan perbankan nasional. "Kondisinya sudah jauh berbeda, maka sudah selayaknya PP itu diubah," katanya.
Maka dari itu, melalui RUU perbankan yang baru mendorong perlu dikawal agar RUU Perbankan yang baru nanti lebih pro terhadap kedaulatan sektor keuangan Indonesia, dengan begitu kedaulatan sektor keuangan akan lebih terjaga. "Kalangan perbankan nasional perlu mengawal dari mulai proses RUU ini hingga nanti implementasinya setelah disahkan menjadi UU. Proses transisi kepemilikan asing yang sudah terlanjur di atas 40% ke batas maksimum 40% juga perlu dikawal karena nantinya kepemilikan asing yg sudah di atas 40% tersebut wajib mendivestasi sahamnya," imbuhnya.
Disinggung bakal seperti apa kondisi industri perbankan nasional jika ada pembatasan untuk asing, menurutnya tergantung dari masa transisi yg disepakati dlm UU nanti. Jika masa transisi yang diberikan oleh RUU perbankan cukup realistis bagi investor asing untuk mendivestasi sahamnya, maka tidak akan terjadi shock terhadap perbankan nasional. "Kita lihat saja UU nantinya, UU seperti apa, harapannya lebih pro terhadap perbankan nasional. Karena perbankan nasional mampu meski investor asing dibatasi kepemilikannya" ujarnya.
Dan melihat prospek industri perbankan ke depan akan tetap cerah, meskipun kepemilikan asing dibatasi maksimum 40%. "Saya optimis perbankan nasional tidak ada masalah meski ada pembatasan, bahkan prospeknya lebih baik jika banyak dimiliki oleh lokal," ujarnya.

sumber:neraca.co.id

Menakar Logis dan Tidak Logis Keberadaan OJK

NERACA
Jakarta - Pernyataan Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa yang menilai pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak sah secara hukum atau inkonstitusional lantaran dasar hukum OJK, yakni UU No.21/2011 tidak sesuai dengan UUD 1945, menimbulkan pro dan kontra. Meski begitu, perlu dicermati alasan logis dan tidaknya keberadaan lembaga yang digadang-gadang superbody tersebut.
Rektor Kwik Kian Gie School of Business, Anthony Budiawan menyatakan, gugatan atas bubarnya OJK ini sangatlah wajar dilakukan oleh siapa pun jika hal itu tidak sesuai dengan UU yang berlaku. Namun, perlu dicermati gugatan ini mempunyai alasan yang logis atau tepat, dan tidak hanya sekadar mengajukan gugatan.
“Harus diperhatikan, apakah kepentingan dari pemohon gugatan dalam mengajukan gugatan OJK ini dan hal yang penting adalah apakah adanya kerugian negara yang disebabkan atas berdirinya OJK ini,” kata Anthony kepada Neraca, Senin (5/5).
Dia pun menegaskan kemungkinan adanya kepentingan yang bermain dalam gugatan ini, bisa kemungkinan adanya kepentingan Bank Indonesia (BI) maupun industri keungan lainnya yang terkena pungutan atas berdirinya OJK ini. Kemungkinan kepentingan OJK bisa nampak dari berkurangnya kekuasaan atau wewenang dalam industri keuangan dimana sektor pengawasan tidak lagi di tangan bank sentral.
“Kemungkingan kepentingan industri keuangan yang bermain dalam pengajuan gugatan ini juga bisa terlihat dari besarnya pungutan yang akan diterima oleh mereka,” tambahnya. Anthony juga menegaskan, BI janganlah merasa kehilangan kekuasaan dalam industri keuangan dikarenakan peran BI merupakan peran yang sangat besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Segala kebijakan yang dikeluarkan oleh BI merupakan salah satu poin penting dalam memajukan ekonomi Indonesia. “Maka janganlah BI mempunyai kepentingan dalan gugatan bubarnya OJK ini dikarenakan sisi pengawasan dibutuhkan lembaga keuangan yang independen dalam melindungi konsumen industri keuangan di Indonesia,” tegas Anthony.
Menurut dia, apabila sisi kebijakan moneter dan pengawasan dijadikan satu kembali di bawah kendali BI maka akan mudah sekali terjadi penyelewengan dimana akan terdapat kolusi-kolusi didalamnya.
Hal ini bisa dicontohkan dari kebijakan yang salah dalam kasus Bank Century sehingga terjadi kepentingan kekuasaan didalamnya. “Berdasarkan kasus-kasus dunia industri keuangan yang terjadi maka bentuk pengawasan perlu dipisahkan dari bank sentral sehingga pengawasan bisa dilakukan dengan baik dan tepat,” tambah Anthony.
Pada kesempatan terpisah, Chief Economist Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih mengungkapkan, OJK perlu diberi kesempatan untuk melakukan tugasnya dalam mengawasi industri keuangan. Pasalnya, OJK dibentuk berdasarkan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 lalu sehingga dibutuhkan lembaga pengawas industri keuangan yang independen.
“Di berbagai negara terdapat pemisahan antara kewenangan bank sentral dan lembaga pengawas sehingga sebenarnya lembaga pengawas ini dibutuhkan dalam melindungi konsumen industri keuangan,” kata dia.
Mengenai kaitannya kepentingan BI atas gugatan ini, kata Lana, seharusnya BI tidak punya kepentingan dalam lembaga OJK ini dikarenakan pegawai OJK merupakan turunan dari BI. Apabila adanya kepentingan maka perlu dilihat kepentingan industri keuangan yang terkena pungutan. Apabila OJK dalam perjalanannya terdapat sesuatu yang melanggar dan tidak sesuai dengan peran dan wewenangnya maka perlu adanya evaluasi lebih dalam lagi.
Perlu diketahui, Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa menggugat Pasal 1 (1) UU OJK dengan alasan kata “independensi” tidak memiliki cantolan hukum, termasuk pada Pasal 33 UUD 1945. Selain itu, MK juga didesak agar menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945. Jika MK tidak mengabulkan hal tersebut, pemohon meminta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” dalam Pasal 6 , Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK, dihapus.

sumber:neraca.co.id

Jumat, 27 Mei 2016

Hot Money Sensitif Isu Negatif PERLU PENDALAMAN INSTRUMEN MONETER

Jakarta – Besarnya portofolio dana asing (hot money) yang menguasai surat berharga nasional (SBN) hingga sekitar Rp 400 triliun dinilai rentan menghadapi fluktuasi ekonomo global yang setiap saat bisa terjadi. Untuk itu, Bank Indonesia perlu meningkatkan kembali pendalaman instrumen moneter untuk menangkal dampak negatif aliran dana asing tersebut.
NERACA
"Salah satu cara adalah pemerintah harus memberikan insentif fiskal kepada investor asing yang mau melakukan reinvestasi foreign direct investment (FDI)-nya di Indonesia, sehingga tidak memulangkan (repatriasi) hasil investasinya ke negara asal,"ujar A Prasetyantoko, staf pengajar Universitas Atmajaya saat dihubungi Neraca, akhir pekan lalu.
Menurut dia, Bank Indonesia juga agar memperbanyak instrumen investasi. Karena BI ikut menjaga rasio defisit transaksi berjalan berada di kisaran 2,5%-2,7% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun depan.
"Pemberian insentif reinvestasi FDI bukanlah hal berlebihan. Kebijakan ini sudah lazim dilakukan oleh negara-negara lain. Bagi Indonesia, insentif fiskal memang dibutuhkan guna menahan repatriasi FDI yang belakangan terjadi dan membuat nilai tukar rupiah melemah,"ujarnya.
Prasetyantoko mengatakan, pemberian insentif untuk reinvestasi FDI penting dilakukan tidak hanya untuk menahan aliran repatriasi, tetapi juga untuk menjaga investasi tidak turun dan pertumbuhan tidak terkoreksi terlalu jauh. Sejumlah insentif yang dapat diberikan, yakni berupa penundaan atau pengurangan pajak agar investor asing tertarik untuk reinvestasi. Insentif tersebut bisa diberikan untuk semua sektor usaha. Salah satu sektor yang penting untuk diberikan insentif adalah sektor migas mengingat investasi di sektor ini dikuasai asing.
"Menjaga aliran modal asing tidak keluar tidak hanya dalam bentuk insentif. Insentif hanya akan menjadi pemanis atau lips service saja selama masalah fundamental tidak dibenahi. Pemerintah harus bisa menyediakan kebutuhan yang paling mendasar bagi investor seperti infrastuktur, kepastian hukum, dan iklim investasi yang kondusif. Infrastuktur harus dibenahi untuk menjaga kelancaran proses produksi dan distribusi,"kata dia.
Menurut dia, kepastian hukum harus ditegakkan untuk memberi rasa aman kepada investor. Iklim investasi pun harus kondusif agar investor nyaman berinvestasi di Indonesia. Tanpa adanya semuanya itu, insentif apa pun yang diberikan akan menjadi kontraproduktif.
"Pembatasan keluarnya dana asing harus dilakukan secara hati-hati agar tidak melanggar undang-undang. Dana asing dalam bentuk hot money maupun FDI bisa keluar kapan saja jika berinvestasi di Indonesia tidak memberikan keuntungan yang besar. Pendalaman pasar keuangan dibutuhkan sehingga investor lebih memiliki banyak pilihan dan hanya tidak tergantung pada jenis investasi konvensional seperti saham dan obligasi,"kata dia.
Imbal hasil (return) yang besar, menurut dia, tidak selalu menjadi daya tarik bagi dana asing tetap bertahan di suatu negara jika risiko investasi lebih besar. Biasanya, hot money di pasar modal sangat sensitif terhadap isu-isu negatif yang berujung pada risiko investasi. Untuk menghindari risiko, dana asing akan keluar sejenak dari suatu negara jika di negara tersebut dipenuhi isu negatif, dan akan masuk lagi jika isu negatif itu telah sirna.
Bagaimanapun, upaya menjaga kondisi fundamental ekonomi Indonesia tetap solid mutlak dilakukan agar tidak goyah diterpa isu-isu negatif dan dana asing tetap bertahan. “Tidak hanya pemberian insentif, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah untuk menahan capital outflow dengan menyerap arus modal asing ke sektor riil,” ujarnya.
Seperti diketahui hingga akhir 2014 kepemilikan asing atas SBN mencapai sekitar Rp 400 triliun, atau hampir 40% dari total surat berharga negara yang beredar. Mengapa?
Investor asing sangat tertarik membeli SBN karena faktor imbal beli (yield) obligasi RI bertenor 10 tahun saat ini mencapai 7,98%, lebih tinggi dari Thailand (3,4%), Malaysia (4,06%) dan Filipina (4,1%). Dengan yield yang cukup tinggi itu, risiko berinvestasi portofolio masih bisa dikategorikan rendah.
Potensi Pembalikan Dana
Pengamat ekonomi yang juga Rektor Kwik Kian Gie School of Business Prof Dr Anthony Budiawan mengatakan, sudah semestinya kepemilikan asing dalam SBN mesti dikurangi mengingat rentannya kondisi ekonomi Indonesia sehingga dengan mudah asing melakukan capital outflow.
"Misalnya jika terjadi guncangan di Indonesia, maka akan ada potensi pembalikan arah investasi atau asing secara berbondong-bondong keluar. Langkah ini tentunya akan merugikan ekonomi Indonesia terlebih kepemilikan asing di SBN cukup tinggi maka akan rentan," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah mesti mewaspadai capital outflow seperti indikasi kenaikan suku bunga The Fed, meski saat ini masih ditunda. "Respon lainnya juga mesti disiapkan seperti nilai tukar, penurunan harga beberapa komoditas seperti CPO. Kalau tidak direspon penanganannya dengan baik seperti dari sisi moneter dan fiskal maka hal itu akan berakibat fatal untuk perekonomian Indonesia," ujarnya.
Chief Economist Bank BNI Ryan Kiryanto mengatakan, di tengah kondisi AS yang mulai membaik, tentu patut diwaspadai mengingat kondisi ini akan membuat investor lari, atau dana di Indonesia balik lagi ke sana. Apalagi sampai dengan akhir tahun 2014 lalu kepemilikan dana asing masuk ke Indonesia besar sekali hingga mencapai Rp 400 triliun.
Oleh karena itu, ke depan dominasi kepemilikan asingitu harus dikurangi, karena akan sangat menggunjang dalam pengelolaan utang negara. "Patut di catat dominasi asing terhadap SBN sangat tinggi, jika terus dibiarkan akan berdampak buruk, oleh karenanya ke depan harus dibalik, agar jika terjadi guncangan dampaknya tidak terlalu besar," katanya.
Ryan mengatakan, salah satu indikator masih akan diterapkannya kebijakan moneter ketat yakni tingkat suku bunga acuan (BI Rate) di level 7,5%. "Indonesia masih terpenjara suku bunga tinggi untuk menjaga likuiditas, harapannya minimal bertahan di level 7,5%, kalau bisa turun, tapi jangan naik lagi," tandasnya.
Pengamat pasar modal Universitas Pancasila Agus S. Irfani mengatakan, porsi kepemilikan investor asing di SBN harus dikurangi. Pasalnya, jika terjadi guncangan terhadap kondisi perekonomian domestik, terdapat potensi pembalikan arah investasi dan hal ini tentunya akan merugikan Indonesia.
"Besarnya porsi kepemilikan investor asing di SBN akan berdampak negatif bagi Indonesia khususnya dalam hal pengelolaan utang negara," kata dia.
Menurut Agus, dengan aliran modal asing bagi perekonomian suatu negara memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, adalah modal asing dapat menambah likuiditas perekonomian serta menutupi kebutuhan dana untuk pembiayaan perekonomian yang tidak seluruhnya dapat dibiayai oleh dana dari dalam negeri. jika modal masuk dalam bentuk komitmen jangka panjang, modal asing ini akan sangat bermanfaat bagi pembiayaan pembangunan nasional.

sumber:neraca.co.id

GRANAT Apresiasi Hukuman Mati untuk Penjahat Narkoba

TRIBUN-MEDAN.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Gerakan Nasional Anti Narkotika (GRANAT) Jakarta Utara Eugenius Kau Suni menilai tindakan hukuman mati yang sudah dimanifestasi dapat dikatakan sebagai langkah maju pemerintah dalam memberantas peredaran narkotika.
Dia mengungkapkan, tidak hanya GRANAT yang menghendaki penerapan hukuman mati bagi para penjahat narkotika, melainkan sebagian lapisan masyarakat, bahkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun menghendaki agar direalisasikan death penalty itu.
"Bukan hanya GRANAT yang mendesak Jaksa Agung Prasetyo segera mengeksekusi 64 terpidana mati kasus narkoba. Tetapi semua elemen masyarakat yang lain, bahkan DPR," tutur Dosen Ilmu Komunikasi Institut Bisnis dan Informatika  Kwik Kian Gie School of Business itu, Selasa (20/1/2015).
Dia mengklaim penolakan grasi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap 64 terpidana mati kasus narkoba semakin mempersempit ruang alasan Jaksa Agung menunda eksekusi mati para terpidana narkoba.
Alhasil, momentum pelaksanaan eksekusi mati, berperan penting dalam merealisasikan cita-cita pemerintah membebaskan masyarakat dari bayang-bayang narkoba.
"Saatnya bangsa ini tidak boleh memberikan hukuman ringan kepada para pengedar dan pembuat narkoba. Karena sebelumnya para terpidana Narkotika hanya mendapat vonis alakadarnya. Padahal faktanya perbuatan mereka membahayakan kelangsungan kehidupan bangsa ini," tegas Suni.
Enam terpidana mati dipastikan sudah dieksekusi oleh satuan Brimob Polda Jateng. Lima terpidana dieksekusi di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah sekitar pukul 00.00, Minggu (18/1/2015).
Sedangkan satu terpidana mati yakni Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam) dieksekusi di sebuah tempat rahasia di Boyolali, Jawa Tengah.
Mereka yaitu, Namaona Denis (48), WN Malawi, Marco Archer Cardoso Moreira (52), WN Brasil, Daniel Enemuo (38) WN Nigeria, Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (62), WNI, Tran Thi Bich Hanh (37) WN Vietnam, dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI).
sumber:medan.tribunnews.com

Harga BBM Indonesia 20% Lebih Mahal dari Malaysia

JAKARTA - Rektor Kwik Kian Gie School of Business , Anthony Budiawan mendesak pemerintah melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang berorientasi pada keadilan. Pasalnya, harga BBM di Indonesia lebih mahal dari Malaysia.

“Harga BBM Indonesia lebih mahal dari Malaysia, padahal tingkat kesejahteraan kita lebih rendah dari Malaysia,” kata Anthony dalam paparannya di seminar nasional bertema “Mencari Harga BBM yang Pantas bagi Rakyat Indonesia” di Jakarta, Rabu (24/9/2014).

Menurut Anthony, BBM jenis premium dengan RON 88 sudah tidak muncul di Malaysia, hanya RON 95 atau setara Pertamax Plus dan RON 97. Padahal di Malaysia, Ron 95 merupakan produk subsidi dengan harga Rp7.775 per liter, lebih murah dibandingkan dengan Indonesia.

Dia mengatakan, RON 95 kalau di Indonesia setara dengan Pertamax Plus. Itupun tidak disubsidi dan dijual dengan harga Rp12.300 per liter di SPBU.

“Harga BBM kita 20% lebih mahal dari Malaysia. Padahal PDB per kapita Indonesia USD3.475, lebih rendah dari Malaysia yang PDB per kapita USD10.514 atau tiga kalinya dari kita. Sudah lebih mahal harganya mau dinaikkan pula, apakah itu adil?” ujarnya.

Dia meminta pemerintah mengikuti langkah Malaysia dengan menghapus BBM jenis premium dan hanya menjual BBM Pertamax, Pertamax Plus serta Pertamax Super (RON 97-98). Selain itu, dia meminta pemerintah mengikuti pola Malaysia memberi subsidi BBM Pertamax.

“Yang disubsidi RON 92 atau Pertamax, Saya usulkan harganya Rp7.500 per liter. Anggaran subsidinya Rp80 triliun, dengan besaran subsidi Rp1.800 per liter dan kuota 40 juta kiloliter,” ujarnya. 

sumber:sindonews.com

Pengamat: Ekonomi Indonesia Sedang Sakit

Jakarta - Kebijakan ekonomi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang akan segera berakhir kembali dapat kritikan.
Rektor Universitas Kwik Kian Gie School of Business Anthony Budiawan, ekonomi Indonesia saat ini sedang sakit. Ekonomi Indonesia, dinilainya sedang mengalami kemunduran atau tepatnya sedang dalam kondisi kritis.
Hal itu terlihat dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mulai melambat, secara total pertumbuhan ekonomi kita pada semerter I 2014 ini hanya 5,17 persen.
"Turun cukup signifikan dari pertumbuhan tahun 2013 yang mencapai 5,78 persen," kata Anthony.
Menurutnya, kondisi yang terjadi disebabkan karena pembangunan ekonomi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini tergantung dari industri komiditas khususnya batubara, karet dan kelapa sawit. Pada 2011, total ekspor ketiga jenis komoditas ini mencapai hampir 40 persen.
"Apabila tidak ada perubahan kebijakan ekonomi yang cukup mendasar, dapat dipastikan tren penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan berlanjut untuk jangka waktu yang cukup panjang," ujarnya.
Sebelumnya, dalam diskusi yang digelar Gerakan Masyarakat Penerus Bung Karno (GMP Bung Karno), Anthony menyarankan agar pemerintahan terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih fokus kepada pembangunan industri.
Menurut dia, pemerintah harus mempunyai peta jalan pembangunan industri yang memuat perencanaan pembangunan industri prioritas.
"Apabila kita tidak mempunyai peta jalan pembangunan industri maka pembangunan ekonomi tidak terencana sehingga dapat mengakibaykan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk beberapa tahun kedepan jauh di bawah 5 persen, bias diantara 3 persen-4,5 persen," ujarnya.
Anthony menuturkan, pihaknya belum pernah mendengar Presiden yang membicarakan strategi khusus meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui pembangunan dan kebijakan industri.
Dalam pertemuan dengan Presiden SBY beberapa waktu lalu di Bali, hanya dimanfaatkan membicarakan polemik subsidi BBM.
"Jokowi-SBY hanya bahas subsidi, nggak bicara ekonomi gimana meningkatkan ke depan. Apakah kebijakan SBY masih dipakai oleh Jokowi. Padahal pembangunan ekonomi satu-satunya cara meningkatkan kesejahteraan rakyat," katanya.
sumber:beritasatu.com

Pajak Progresif Bisa Tekan Kesenjangan Sosial?

JAKARTA, KOMPAS.com – Rektor Kwik Kian Gie School of Business , Anthony Budiawan mengatakan, untuk mengurangi kesenjangan pendapatan maka harus dilakukan redistribusi pendapatan, salah satunya melalui pajak progresif yang kemudian ditransfer dalam bentuk akses pada kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. 

Penurunan kesenjangan sosial terlihat dari beberapa negara OECD dimana pemerintahnya efektif menerapkan kebijakan fiskal melalui instrumen pajak. Anthony mencontohkan, gini ratio Amerika Serikat sebelum pajak (before tax gini ratio) masih diurutan ketujuh, lebih rendah dibandingkan Irlandia dan Inggris, dimana kedua negara memiliki kesenjangan sosial lebih besar. 

“Tapi after tax gini ratio Amerika Serika tertinggi, menduduki urutan pertama sebagai negara dengan kesenjangan sosial tertinggi diantara negara-negara OECD,” kata Anthony, seminar bertajuk ‘Ironi Pembangunan Ekonomi Indonesia, Kesenjangan Sosial Melebar’, Jakarta, Rabu (18/3/2015). 

Menurut Anthony hal tersebut menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan fiskal di Amerika serikat adalah yang terendah. Amerika Serikat tidak melakukan redistribusi pendapatan yang baik dibandingkan Irlandia. 

Di Irlandia redistribusi pendapatan sangat baik, pendapatan masyarakat berpendapatan tinggi ditransfer dalam bentuk pajak untuk masyarakat berpendapatan rendah. 

“Jadi peran pemerintah untuk menekan kesenjangan sosial sangat mudah yaitu melalui pajak, dan harapannya adalah yang progresif, yang semakin kaya pajaknya makin besar,” ujar dia.

sumber:kompas.com

Budiawan, "Ekonomi Indonesia Sedang Sakit"

JAKARTA, (PRLM).- Kebijakan ekonomi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang akan segera berakhir kembali dikritik. Menurut Rektor Universitas Kwik Kian Gie School of Business Anthony Budiawan, ekonomi Indonesia saat ini sedang sakit.
"Ekonomi Indonesia sedang mengalami kemunduran atau tepatnya sedang dalam kondisi sakit. Hal itu terlihat dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mulai melambat, secara total pertumbuhan ekonomi kita pada semerter I 2014 ini hanya 5,17 persen turun cukup signifikan dari pertumbuhan tahun 2013 yang mencapai 5,78 persen," ucapnya alam diskusi yang digelar Gerakan Masyarakat Penerus Bung Karno (GMP Bung Karno), di Jakarta, Rabu (17/9/2014).
Menurut dia, hal ini terjadi disebabkan, karena pembangunan ekonomi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini tergantung dari industri komiditas khususnya batubara, karet dan kelapa sait. Pada 2011, total ekspor ketiga jenis komoditas ini mencapai hampir 40 persen.
"Apabila tidak ada perubahan kebijakan ekonomi yang cukup mendasar, dapat dipastikan tren penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan berlanjut untuk jangka waktu yang cukup panjang," ujarnya.
Untuk itu, Anthony Budiawan, menyarankan agar pemerintahan terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih fokus kepada pembangunan industri. Menurut dia, pemerintah harus mempunyai peta jalan pembangunan industri yang memuat perencanaan pembangunan industri prioritas.
"Apabila kita tidak mempunyai peta jalan pembangunan industri maka pembangunan ekonomi tidak terencana sehingga dapat mengakibaykan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk beberapa tahun kedepan jauh di bawah 5 persen, bias diantara 3 persen-4,5 persen," ujarnya.
Namun, Anthony menuturkan pihaknya belum pernah mendengar Presiden mendatang Jokowi membicarakan strategi khusus meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui pembangunan dan kebijakan industri. Dalam pertemuan dengan Presiden SBY beberapa waktu lalu di Bali, hanya dimanfaatkan membicarakan polemik subsidi BBM.
"Jokowi-SBY hanya bahas subsidi, nggak bicara ekonomi gimana meningkatkan ke depan. Apakah kebijakan SBY masih dipakai oleh Jokowi. Padahal pembangunan ekonomi satu-satunya cara meningkatkan kesejahteraan rakyat," katanya.
Selain itu, kata dia, pemerintah harus berani memberlakukan kebijakan untuk memperbesar ruang fiskal. Namun, kata dia, caranya bukan dengan cara pemotongan subsidi tapi bisa juga dengan peningkatan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN).
"Sebetulnya kita bisa tingkatkan PPN untuk perluas ruang fiskal, dari 10 persen jadi 20 persen bisa dapat Rp 125 triliun. Itu juga pilihan, kalau nggak mau beli ya sudah. PPN nggak terpengaruh inflasi," tuturnya. (Miradin Syahbana Rizky/A-147)***

sumber:pikiran-rakyat.com

Ketimpangan Sosial Terus Ada?

Persoalan ketimpangan pendapatan telah lama menjadi persoalan yang rumit dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh sejumlah negara miskin maupun negara berkembang seperti di Indonesia. Ironisnya, kesenjangan sosial makin melebar di era reformasi sejak 2000 hingga 2013 dibanding pada era Orde Baru (1980-1996).
“Pada era SBY kita tahu kesenjangan sosial meningkat,” kata Anthony Budiawan, rektor Kwik Kian Gie School of Business , dalam seminar bertajuk bertajuk ‘Ironi Pembangunan Ekonomi Indonesia, Kesenjangan Sosial Melebar’, Rabu (18/3/2015).
Menurut Rektor Kwik Kian Gie School of Business Prof Dr Anthony Budiawan, mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan bisa mengurangi kesenjangan pendapatan. Sayangnya, return (timbal balik) dari tiap-tiap sektor atas pertumbuhan ekonomi berbeda.
Ada beberapa sektor yang mengalami timbal balik menurun, konstan, dan meningkat. Inilah yang menyebabkan meski pertumbuhan ekonomi tinggi, namun kesenjangan pendapatan masih ada. Lihat saja data pertumbuhan ekonomi rata-rata dari tahun 1980 hingga 1996 di level 7,03%. Sementara pertumbuhan ekonomi dari tahun 2000-2013 rata-rata adalah 5,1%.
Ternyata pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu menimbulkan kesenjangan sosial. Buktinya, koefisien gini ratio dari 1980-1996 rata-rata adalah 0,32-0,35. Sedangkan dari tahun 2000 hingga 2013 koefisien gini ratio meningkat tajam dari 0,35 menjadi 0,42.
Ini mencerminkan ketimpangan sosial terjadi akibat dari adanya distribusi pendapatan yang kurang merata di sejumlah wilayah negeri ini. Kenapa? Pertama, adalah bagaimana menaikkan kesejahteraan masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan saat ini. Kedua, pemerataan pendapatan secara menyeluruh dalam arti mempersempit perbedaan tingkat kesenjangan sosial antar penduduk atau rumah tangga.
Nah, muncul distribusi pendapatan yaitu perbedaan pendapatan antara individu yang paling kaya dengan individu yang paling miskin. Semakin besar jurang pendapatan maka semakin besar pula variasi dalam distribusi pendapatan. Maka disini peran pemerintah diperlukan dalam menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan, sehingga ketika pertumbuhan ekonomi meningkat, kesejahteraan masyarakat akan terdistribusi pendapatannya yang dapat dirasakan secara merata oleh masyarakat.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, banyak orang merasakan tidak memberikan pemecahan masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Sebab saat pertumbuhan ekonomi tinggi tidak diiringi dengan upaya peningkatan pengangguran dan pengangguran semu di daerah pedesaaan maupun perkotaan. Distribusi pendapatan antara kelompok kaya dengan kelompok miskin semakin senjang. Akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata telah gagal untuk menghilangkan atau bahkan mengurangi luasnya kemiskinan absolut di negara-negara sedang berkembang. (Arsyad, 2004).
Munculnya kawasan-kawasan kumuh di tengah beberapa kota besar, serta sebaliknya hadirnya kawasan-kawasan pemukiman mewah di tepian kota atau bahkan di pedesaan, adalah suatu bukti nyata dari adanya suatu ketimpangan yang terjadi. Perbedaan gaya hidup masyarakat merupakan bukti lain dari ketimpangan.
Ketidakseragaman ini berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh yang pada akibatnya mengakibatkan beberapa wilayah mampu tumbuh dengan cepat, sementara wilayah lainnya tumbuh lambat. Kemampuan tumbuh ini kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan baik pembangunan maupun pendapatan antar daerah.
Kondisi ini merupakan tantangan pembangunan yang harus dihadapi mengingat masalah kesenjangan itu dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, serta dapat menyulitkan kita dalam melaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang berlandaskan pemerataan. Bagaimanapun, ketimpangan merupakan permasalahan klasik yang dapat ditemukan dimana saja. Karena ketimpangan tidak dapat dimusnahkan, melainkan hanya bisa dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diterima oleh suatu sistem sosial tertentu agar keselarasan dalam sistem tersebut tetap terpelihara dalam proses pertumbuhannya.
sumber:neraca.co.id

Kamis, 26 Mei 2016

Di Merapi, Reza Bank Mandiri Satukan Langkah Humas BUMN

Harianjogja, SLEMAN – Rutusan mobil Jeep beriringan melintasi jalan terjal dan berbukit menuju Gunung Merapi dalam prosesi lava tour. Di sinilah Head of  Corporate Communication Corporate Secretary Group Bank Mandiri Ahmad Reza dikukuhkan sebagai pimpinan puncak Forum Humas BUMN periode 2016-2019 di tengah guyuran hujan, namun tidak mengurangi rasa hidmad bagi insan yang bergelut di dunia komunikasi. Para professional itu berbaur menyaksikan momen bersejarah bagi organisasinya.

Reza terpilih dalam Munas Forum Humas BUMN 2016 yang digelar pada 15-17 April 2016 di Jogjakarta. Penghitungan suara berdasarkan lembaga, bukan atas nama individu sehingga bendera PT Bank Mandiri Tbk., berkibar dengan 93 suara, jauh meninggalkan  PT Taman Wisata Candi Borobudur yang hanya meraih tujuh suara, sementara PT Pelabuhan Indonesia hanya dua suara.
Pria berkulit terang dan selalu tampil perlente itu adalah Head of  Corporate Communication Corporate Secretary Group Bank Mandiri Ahmad Reza, lahir pada 26 April 1977 adalah jebolan dari STIE IBII, kini Kwik Kian Gie School of Business . Ia juga menempuh pendidikan di CPM Asia Pacifik pada 2001 dan memiliki sertified managerial PR dari LSPR.
Suasana pelantikan makin hidmat karena dalam kondisi basah akibat rintikan air hujan. Kilatan ratusan kamera saling menyambar. “Kita bisa bertemu di sini karena kita memiliki komitmen untuk memajukan Forum Humas BUMN yang akan lebih eksis dan memberikan kontribusi nyata bagi Indonesia Sebab inilah momentum bagi kami untuk menunjukkan fungsi strategisnya dalam karya nyata bagi insan humas dan masyarakat,” kata Reza kepada Bisnis.com Sabtu (16 April 2016).
Menjelang munas, berbagai kegiatan dan aktualisasi dilakukan untuk  menajamkan identitas forum tersebut hingga melahirkan kekompakkan antaranggota. Agenda munas kali ini adalah memilih ketua umum, mengesahkan amandemen AD/ART, merancang program kerja tahunan dan melakukan evaluasi kerja.
Agenda hari ini para peserta dari seluruh Tanah Air mengikuti wisata ke Candi Borobudur. Sebelumnya mereka menggelar aksi sosial mendukung becak sebagai salah satu ikon budaya Jogja yang patut dipertahankan, setelah kunjungan ke nDalem Wironegaran untuk bersilaturahmi dengan GKR Mangkubumi.
 sumber:harianjogja.com

Rupiah Terus Anjlok, APBN Harus Ditinjau Lagi

JAKARTA - Rupiah terpuruk ke kisaran Rp13.000 per USD. Namun, nilai tersebut masih di atas asumsi APBN 2015 yang dinyatakan sebesar Rp12.500.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika mengatakan bahwa perhitungan pemerintah terhadap nilai tukar Rupiah tersebut dilakukan untuk jangka waktu satu tahun.
Menurutnya, jika pelemahan terus terjadi, maka tidak menutup kemungkinan akan dilakukan peninjauan kembali terhadap asumsi Rupiah dalam APBN 2015.
"Merekakan hitungnya setahun, jadi kita lihat trennya ke depan, pemerintah akan melihat trennya ke depan seperti apa dan memastikan akan menjaga itu," ujar Erani di sela-sela acara seminar di Kwik Kian Gie School of Business Jakarta, Rabu (18/3/2015).
Dia menuturkan bahwa pada pertengahan tahun pemerintah kemungkinan juga akan mereview asumsi makro yang ada dalam APBN 2015, termasuk pada nilai tukar Rupiah.
"Mungkin sampai pertengahan tahun akan ada review lagi kalau memang semakin menjauh dari Rp12.500," pungkasnya.
sumber:okezone.com

Paket Kebijakan Baru 70% Mengatasi Pelemahan Rupiah

JAKARTA - Paket kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah dinilai hanya bisa mengatasi 60-70 persen dari permasalahan yang ada, termasuk dalam mengatasi pelemahan nilai tukar Rupiah.
"Ya saya bilang itu 60-70 persen dari yang seharusnya kita lakukan," tutur Ekonom Indef Ahmad Erani Yustika di sela-sela acara seminar di Kwik Kian Gie School of Business , Jakarta (18/3/2015).
Oleh karena itu, Erani menuturkan bahwa transaksi dalam negeri sebaiknya dilakukan dengan transaksi menggunakan mata uang Rupiah.
"Saya ingin transaksi dalam negeri dibentuk yang pakai dolar itu. Kemudian saya juga berharap agar terkait dengan capital outflow itu bisa lebih diperpanjang, jangan sampai bisa over keluar masuk, itu yang seharusnya. Devisa hasil ekspor juga," ujar dia.
Untuk itu, dia mengatakan agar pemerintah segera menyiapkan rancangan undang-undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) untuk menyelamatkan stabilitas sektor keuangan di Indonesia.
Selain itu dia juga mengatakan bahwa krisis ekonomi di Indonesia saat ini jaraknya semakin dekat. Jika sebelumnya, krisis ekonomi dapat terjadi 20 tahun sekali, namun saat ini krisis ekonomi bisa terjadi selama dua tahun sekali.
"Kalau dulukan krisis bisa 20 tahun sekali, 15 tahun sekali, 10 tahun sekali, 7 tahun sekali. Sekarang bisa hampir tidak ada jedanya, dua tahun sekali. Dari 2005, 2008, 2010. Mulai dari 2010 sampai sekarang krisis terus. Makin pendek jaraknya," pungkasnya.
sumber:okezone.com

Blueprint Perbankan RI Milik Siapa?

Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) kini bersaing menerbitkan cetak biru (blueprint) perbankan Indonesia di tengah carut marutnya industri jasa keuangan di negeri ini. Padahal sebelumnya Bank Indonesia sudah terlebih dulu menerbitkan panduan Arsitektur Perbankan Indonesia (API), namun hingga kini tidak jelas kelanjutannya.
NERACA
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disebut-sebut bulan depan (November) akan merilis cetak biru jasa keuangan atau disebut “Master Plan Jasa Keuangan Indonesia”. MPJKI akan mengatur cetak biru strategi jangka panjang perbankan nasional, termasuk di dalamnya perbankan syariah, industri keuangan non bank (IKNB) dan juga industri pasar modal.
"Termasuk bagaimana sebaiknya melakukan konsolidasi perbankan dan bagaimana menghadapi bank asing dan sebagainya. Akan keluar saat ulang tahun OJK, November mendatang," ujar Deputi Komisioner OJK Mulya E. Siregar di Jakarta, belum lama ini.
Dalam konsep MPJKI ada lima pilar pendukungnya. Pilar pertama, struktur perbankan untuk mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan. Kedua, ketahanan perbankan untuk mendukung daya saing tinggi. Ketiga, pengaturan dan pengawasan terintegrasi.
Keempat, kolaborasi makro dan mikro prudensial untuk stabilitas keuangan serta akses masyarakat dengan perbankan. Kelima, perlindungan konsumen untuk pemerataan pembangunan, akan dikonversikan menjadi strategi.
Di sisi lain, Perbanas dalam waktu dekat juga akan bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk menyempurnakan API yang sebelumnya sudah dibuat oleh oleh BI beberapa tahun silam.
Menurut Ketua Perbanas Sigit Pramono, tidak tersedianya cetak biru perbankan berpotensi mematahkan rencana aksi-aksi dalam dunia keuangan, terutama merger dan akuisisi. Padahal, kedua hal tersebut merupakan "permainan" dalam dunia keuangan dunia saat ini.
"Malaysia tengah mempersiapkan merger raksasa dengan CIMB-nya dan beberapa bank di sana. Kita sudah ketinggalan dua kali. Sekarang ini kita bukan hanya bank syariah saja, kita ini baru nomor 10 di Asia Tenggara," ujarnya kepada pers akhir pekan lalu.
Dia tidak menampik bahwa sejauh ini Bank Indonesia sudah memiliki API. Dia juga tidak menolak jika bentuk cetak biru yang diusulkannya bersama Perbanas akan menjadi penyempurnaan dari API tersebut.
Adapun dasar hukum cetak biru ini, menurut Sigit, mirip seperti APBN. "APBN kan sama dengan undang-undang, undang-undang dalam artian ada pasal-pasal dan sebagainya. Saya pikir seperti itu. Yang penting, pemerintah bersama dengan OJK, BI, dan semua pemangku kepentingan di dunia perbankan, keuangan, mendiskusikan dengan DPR, dengan parlemen. Kalau sudah sepakat semua, disetujui, seperti APBN kan mengikat dua-duanya," ujarnya.
Tidak Efektif
Menurut pengamatekonomi UI LanaSoelistianingsih menilai polemik pembuatan blueprint perbankan mulai dari OJK hingga Perbanas hanya akan menimbulkan kerancuan arah yang akan diambil perbankan untuk mendatang. “Semakin banyak cetak biru, pihak perbankan akan susah menentukan mengikuti yang mana arah nya,” ujarnya kepada Neraca, Senin (13/10).
Selain itu, menurut dia, semakin banyak rujukan akan menciptakan lebih banyak menciptakan ruang penyimpangan pada perbankan. Jadi sangat tidak efektif jika terlalu banyak master plan atau pun cetak biru untuk perbankan mendatang. “Jika terlalu banyak serat menimbulkan penyimpangan, karena bisa jadi aturan satu membolehkan aturan lain tidak membolehkan makanya itu perlu diselaraskan,” imbuhnya.
Oleh karena itu menurut Lana, lebih baik hanya ada satu blueprint tapi memang sudah pakem disini baik OJK maupun Perbanas boleh mengusulkan tapi aturan maupun blueprint nya biarkan serahkan ke Bank Indonesia (BI) yang membuatnya, karena sampai dengan saat ini untuk kebijakan perbankan makro adalah wewenang BI.
“Perbanas itu hanya asosiasi, sedangkan OJK hanya mengurusi operasional perbankan disini harusnya BI yang punya otoritas untuk membuat kebijakannnya. Lebih baik satu cetak biru tapi bisa lebih efektif dan tentu saja semua perbankan bisa mematuhinya sehingga minim penyimpangan,” tegasnya.
Apalagi siap atau tidak siap perbankan nasional harus siap berkompetisi dalam pagelaran pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 nanti alangkah baiknya blueprint yang dibuat satu, tapi semua perbankan bisa fokus dan menaati semua aturan maupun masterplan yang ada agar perbankan nasional bisa lebih kompetitif mengahadapi MEA nanti. “Lebih baik satu, efektif dan bisa lebih baik membawa perbankan nasional,” paparnya.
Pengamat perbankan Paul Sutaryono menilai apapun itu bentuk dan nama dari cetak biru perbankan, asalkan berjalan dengan benar. Pasalnya, API yang telah ada sejak tahun 2000 namun belum juga dijalankan dengan baik, salah satunya soal konsolidasi perbankan.
Menurut dia, konsolidasi perbankan tidak berjalan karena API yang diklaim sebagai panduan hanya bersifat pada tataran kebijakan saja dan belum berbentuk aturan operasional teknis yang wajib diterapkan oleh bank nasional. “Harus diakui konsolidasi perbankan nasional amat diperlukan. Tapi tidak jalan, salah satu penyebabnya API masih berhenti pada tahap kebijakan, belum sampai tahap aturan operasional,” kata Paul.
Menurut dia, kelemahan API soal konsolidasi perbankan tidak disepakati oleh semua elemen pemerintahan. Terlebih dalam industri perbankan ada perbankan milik pemerintah. “Dengan demikian, ketika Bank Mandiri mau akuisisi BTN muncul aneka resistensi dari banyak pihak,” kata Paul.
Paul menilai API harus lebih dioperasionalkan dengan beberapa tahap, seperti tahap sosialisasi dan tahap pelaksanaan berupa kapan waktu yang jelas penerapan aturan tersebut. Dengan demikian, kelompok bank lebih mengerti dan memahami mengapa ada konsolidasi. “Ini semua untuk menghindari resistensi. Padahal konsolidasi itu penting untuk memudahkan OJK untuk mengawasi karena jumlah bank makin kecil,” ujarnya.
Menurut Rektor Kwik Kian Gie School of Business Prof Dr Anthony Budiawan, pemerintah bersama otoritas perbankan dan DPR memang perlu menyusun cetak biru perbankan nasional. Cetak biru itu harus berisikan rencana jangka panjang perbankan di Tanah Air. Namun, harus melibatkan banyak pemangku kepentingan agar mengikat semua pihak.
"Otoritas dan legislatif perlu menyusun cetak biru perbankan nasional, yang merupakan rencana strategis perbankan Indonesia jangka panjang. Sehingga jelas, tujuan yang ingin dicapai industri perbankan. Pemerintah perlu membuat cetak biru perbankan nasional guna menggambarkan pengembangan perbankan Indonesia ke depan seperti apa," ujarnya.
Menurut dia, API merupakan cetak biru perbankan yang diciptakan dengan energi yang cukup. API sudah ada sejak tahun 2000, namun implementasinya masih tidak maksimal. Belum berhasil API ini dikarenakan banyaknya hambatan yang terjadi, semisalnya saja di bank BUMN dimana terdapat hambatan politisnya seperti nilai birokrasi yang tinggi dan bank swasta adanya hambatan bisnis dan manejemen. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memperkuat daya saing industri perbankan nasional dengan dukungan permodalan yang kuat.
Anthony menyambut baik rencana Perbanas yang akan mengusung cetak biru perbankan namun harus lebih diperjelas cetak biru tersebut."Tidak tersedianya cetak biru perbankan berpotensi mematahkan rencana aksi-aksi dalam dunia keuangan, terutama merger dan akuisisi. Oleh karenanya, perlunya sinergi yang berkesinambungan antara pemerintah, otoritas dan stakeholder perbankan seperti Perbanas untuk menyusun secara bersama-sama dalam penyusunan cetak biru perbankan nasional sehingga memperkuat perbankan Indonesia menghadapi tantangan global," ujarnya.
Dia juga menjelaskan cetak biru perbankan nasional diyakini mampu memberikan pemikiran kepada otoritas ekonomi dan keuangan, sehingga bisa menentukan arah strategi sektor perbankan nasional. Dengan cetak biru perbankan, sektor keuangan Indonesia akan mempunyai beberapa kekuatan, seperti daya tahan, kemampuan berkompetisi dan daya dukung yang kuat terhadap perkembangan ekonomi Indonesia di masa mendatang.

sumber:neraca.co.id

Harga Komoditas Membaik

Jakarta - Harga sejumlah komoditas dunia perlahan-lahan mulai membaik, meski masih jauh di bawah masa keemasannya. Tren kenaikan harga terutama terjadi pada komoditas energi seperti minyak mentah (crude oil) dan batu bara, dan komoditas pangan seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Lonjakan harga juga terjadi pada komoditas mineral-logam, seperti aluminium, tembaga, timah, emas, dan perak. Pemulihan harga tersebut diyakini akan terus berlanjut dan mendongkrak nilai ekspor Indonesia. Namun, di tengah tren kenaikan harga, pemerintah jangan mengendurkan program hilirisasi agar dapat memberikan nilai tambah pada komoditas primer serta mendorong transformasi industri.
Berdasarkan data Bank Dunia yang dirilis 3 Maret 2016, pada Februari 2016 rata-rata harga komoditas energi meningkat 1,8 persen dibanding bulan sebelumnya, dan harga komoditas pangan juga melonjak 1,8 persen. Lonjakan harga juga terjadi pada komoditas bahan baku yang meningkat 0,8 persen, logam dan mineral 4,5 persen, dan logam mulia hingga 8,9 persen.
Dari semua komoditas yang mengalami kenaikan harga, lonjakan paling signifikan terjadi pada CPO yang mencapai 12 persen, dari US$ 566 per metrik ton (mt) pada Januari 2016 menjadi US$ 639 per mt pada Februari 2016. Harga emas melonjak hingga 9,2 persen, yakni dari US$ 1.098 per troy ounce (toz) menjadi US$ 1.200 per toz. Saat ini, harga emas sudah di kisaran US$ 1.256 per toz.
Di sisi lain, rata-rata harga minyak mentah pada Februari 2016 mencapai US$ 31 per barel dari US$ 29,8 per barel pada bulan sebelumnya. Bahkan untuk minyak mentah jenis Brent naik menjadi menjadi US$ 33,2 dari US$ 30,8 per barel. Harga batu bara patokan pasar Australia juga naik dari US$ 49,8 per mt menjadi US$ 50,9 per mt.
Harga beras Thailand (dengan patahan 25 persen) juga naik dari US$ 361 per mt menjadi US$ 374 per mt, begitu juga harga karet yang pada Januari US$ 1,22 per kilogram (kg) menjadi US$ 1,26 per kg. Sedangkan aluminium dari US$ 1.481 per mt menjadi US$ 1.531 per mt, tembaga dari US$ 4.472 per mt jadi US$ 4.599 per mt, timah dari US$ 13.808 per mt jadi US$ 15.610 per mt.
Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto mengatakan kenaikan harga komoditas primer akan membawa berkah bagi Indonesia karena memang selama ini ekspor Indonesia masih berupa komoditas primer. Neraca perdagangan akan membaik dengan kenaikan harga komoditas itu.
Namun demikian, kenaikan harga komoditas primer tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi program hilirisasi yang sudah dicanangkan pemerintah.
“Penyakit orang Indonesia itu adalah kalau harga komoditas naik, maka lebih senang ekspor bahan mentah daripada mengolahnya jadi produk jadi atau setengah jadi. Inilah yang harus dicegah pemerintah, kenaikan harga komoditas jangan membuat Indonesia terlena dan lupa membangun hilirisasi,” katanya kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (21/3).
Eko mengatakan pemerintah dan pengusaha berbasis komoditas harus paham bahwa hilirisasi merupakan strategi paling jitu untuk menciptakan perekonomian nasional yang berbasissustainable. Margin atau keuntungan dari hilirisasi jauh lebih besar ketimbang mengekspor komoditas dalam bentuk mentah. Hilirisasi bukan saja menciptakan nilai tambah dari sisi produk, namun juga bisa menciptakan investasi baru dan menyerap banyak sekali tenaga kerja di dalam negeri.
“Jadi meskipun harga komoditas sepertinya akan berlanjut, konsisten pemerintah akan hilirisasi harus diutamakan. Apalagi, Presiden Jokowi sudah bilang saat ini bukan zamannya mengekspor produk mentah. Idealnya, dalam kondisi harga komoditas anjlok ataupun membaik, hilirisasi tetap jalan karena ini yang bisa menyelamatkan ekonomi Indonesia ke depan,” jelasnya.
Menurut dia, kalaupun pemerintah memutuskan untuk menggenjot ekspor komoditas seiring pulihnya harga di pasar internasional, pemerintah harus memberikan insentif yang sangat signifikan bagi pelaku usaha yang setia melakukan hilirisasi. Misalnya, pajak ekspor diberlakukan untuk produk mentah, sedangkan untuk ekspor produk hilir bebas hambatan bahkan diberi insentif lebih.
“Untuk CPO misalnya, kalau harga komoditas naik maka bea keluar (BK) harus segera diterapkan. Untuk CPO, mekanisme sudah ideal, link and macth aturan dan kondisi di lapangan sudah sangat baik, begitupun soal teknologi,” katanya.
Eko mengatakan untuk hilirisasi CPO, saatnya Indonesia meniru Malaysia, sedangkan untuk produk makanan dan minuman, tirulah Thailand. Di Malaysia dan Thailand ada upaya hilirisasi yang luar biasa. Ini terbukti dengan produk jadi dan setengah jadi yang masuk Indonesia.
“Ekspor komoditas primer itu sudah dilakukan zaman VOC, kalau sekarang sudah merdeka, maka Indonesia idealnya tidak lagi melakukan itu. Hilirisasi itu juga bisa mengatasi ketimpangan yang semakin lebar antara Jawa dan luar Jawa, karena sumber bahan baku umumnya di luar Jawa,” jelas dia.
Senada dengannya, Wakil Ketua Umum Kadin bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengingatkan pemerintah agar jangan terlena oleh kenaikan harga-harga komoditas primer yang akan mendongkrak nilai ekspor nasional. “Pemerintah harus terus menjalankan program hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah produk komoditas primer,” katanya.
Dia menambahkan, hilirisasi harus segera dijalankan, terutama untuk produk CPO yang saat ini sebagian produknya diekspor. “Pemerintah jangan hanya mengejar ekspor komoditas primer, tapi melupakan hilirisasi, terutama untuk CPO,” ujarnya.
Di samping itu, lanjut Shinta, pemerintah harus mengembangkan sektor-sektor industri di dalam negeri. “Sebenarnya sudah ada 12 sektor prioritas, tapi pemerintah belum memiliki peta jalan(road map) dan juga belum ada how to untuk mencapainya,” katanya.
Dari 12 sektor prioritas itu, dia menyebut sektor makanan dan makanan paling cepat untuk dikembangkan karena Indonesia punya bahan baku (raw material) yang besar untuk industri ini.
“Sektor industri makanan dan minuman merupakan pengembangan dari sektor agribisnis. Jadi bisa cepat memberikan banyak nilai tambah,” ucapnya.
Terkait hilirisasi CPO, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyatakan hilirisasi industri berbasis CPO di Tanah Air saat ini sudah on the right track (di jalur yang tepat). Pada 2015, ekspor CPO dan turunannya mencapai 24 juta ton dan ekspor dalam bentuk CPO hanya 7 juta ton atau tidak sampai 30 persen dan selebihnya bukan CPO atau dalam bentuk refined atau terproses. “Ekspor sudah lebih dari 70 persen dalam bentuk hilir,” kata dia.
Yang menjadi pertanyaan, lanjut Joko, adalah apabila memang akan dilakukan hilirisasi CPO ke tingkat industri yang lebih lanjut memang tidak cukup hanya dalam bentuk imbauan.
“Sekarang, mau hilirisasi yang mana, yang seperti apa? Ini sebenarnya yang tidak ada kesamaan. Misalnya, industri oleokimia itu naik terus, tapi fasilitas pemerintah sudah memadai belum? Intinya, banyak hal yang harus dilakukan untuk memenangi pasar. Apalagi kalau tujuannya adalah produk akhir bernilai tinggi, proteksinya harus lebih," kata Joko.
Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan mengungkapkan harga CPO global mulai menggeliat pada pekan pertama Februari 2015. Harga bergerak di kisaran US$ 575–650 per mt. Ini adalah pertama kalinya harga CPO global menyentuh US$ 600 per mt sejak Agustus 2015.
Faktor utama yang mendongkrak harga CPO global adalah berkurangnya stok minyak sawit di Indonesia dan Malaysia dan produksi yang menurun karena El Nino yang panjang tahun lalu serta mulai berjalannya program biodiesel di Indonesia dan Malaysia.
"Sentimen positif ini akan terus berlanjut, karena saat ini beberapa daerah sentra penghasil sawit di Indonesia sedang dilanda banjir sehingga mengganggu panen dan transportasi buah sawit," kata dia.
Staf Pengajar pada Kwik Kian Gie School of Business , Hasan Zein Mahmud mengungkapkan perekonomian Indonesia sejauh ini masih sangat tergantung pada ekspor komoditas primer. Dengan begitu, kenaikan harga di pasar internasional tentu bisa menguntungkan bagi Indonesia yang selama ini mengalami problem defisit transaksi berjalan yang hanya bisa diatasi dengan menaikkan ekspor.
“Ini bisa menjadi bantuan bagi Indonesia yang ekonomi makronya memiliki tantangan defisit transaksi berjalan. Tetapi harus diingat kenaikan harga ini juga harus dipantau, kalau pertumbuhan ekonomi dunia sustainable maka akan menyeret kenaikan harga energi yang kemudian bergeser pada kenaikan harga bahan mentah dan pertambangan. Tapi Tiongkok saat ini ekonominya juga masih melambat, jadi harapannya ekonomi global terus membaik,” ungkapnya.
Hasan Zein juga mengatakan, kenaikan harga minyak mentah diikuti oleh kenaikan harga komoditas lain. Harga minyak yang sempat berada di titik terendah US$ 24 per barel, saat ini mencapai US$ 40 per barel. Hal itu di antaranya diikuti dengan naiknya harga timah dari US$ 14.000 per mt menjadi US$ 16.000 per mt. Kenaikan harga itu bisa jadi karena meningkatnya permintaan seiring dengan membaiknya perekonomian dunia.
“Penentu harga komoditas adalah pertumbuhan ekonomi dunia. Saat ini perekonomian AS positif dan mulai menguat, tetapi Eropa masih jalan di tempat dan Jepang masih belum meyakinkan. Namun kalau harga komoditas primer membaik berarti itu sinyal positif adanya perbaikan ekonomi dunia,” ujarnya.
Emas Paling KinclongSementara itu, Dekan IPMI International Business School Roy Sembel serta analis dan Pendiri LBP Enterprises Lucky Bayu Purnomo menuturkan saat ini harga komoditas dunia memang telah mulai menunjukkan adanya tren perbaikan. Namun tren perbaikan akan sangat terasa pada semester II-2016.
Harga emas, CPO, dan pangan, akan pulih lebih dahulu. Setelah itu dilanjutkan pemulihan harga komoditas logam terutama nikel, timah, dan aluminium, dan minyak mentah pada akhir tahun. Sedangkan harga batu bara baru akan pulih tahun depan.
Dari semua komoditas dunia yang berpotensi mengalami perbaikan harga, komoditas emas menjadi yang paling kinclong. Pada 2011-2012, harga emas sempat mencapai US$ 1.800 per toz dan pada 2013 masih sempat US$ 1.411 per toz.
Menurut Roy Sembel, saat ini harga emas sudah mulai menunjukkan tren kenaikan di level plus minus US$ 1.100 per toz. Harga emas sempat mencapai rekor tertinggi US$ 1.800 per toz pada 2011-2012 dan terus merosot hingga di level US$ 1.000 per toz. Harga emas sempat tak bergerak alias stagnan selama delapan tahun.
“Setelah lama diam, emas mulai bergerak naik di level plus minus US$ 1.100 per toz. Harga akan terus bergerak mengikuti inflasi dan munculnya sejumlah sentimen positif lain. Pada semester II-2016, harga emas akan di kisaran US$ 1.200-1.300 per toz,” jelas dia.
Roy mengungkapkan sentimen positif bagi perbaikan harga emas adalah gejolak mata uang dunia yang relatif tinggi membuat masyarakat lebih memegang investasi yang tangible yaitu emas. Pulihnya perekonomian Eropa dan Amerika Serikat (AS) juga membuat pembelian barang merah (luxury), termasuk emas, meningkat.
India juga menjadi konsumen emas terbesar dunia seiring posisi negara tersebut sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di antara negara-negara besar, menggantikan posisi Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di atas 5 persen juga akan mendorong permintaan emas meningkat.
“Ketidakpastian mata uang dunia membuat orang-orang memegang investasi yang tangible itu adalah sentimen utama membaiknya harga emas,” jelas dia.
Lucky Bayu Purnomo juga menuturkan harga emas akan berada di kisaran US$ 1.350 per toz pada akhir kuartal II 2016 atau awal semester II 2016. Para pelaku pasar menilai instrumen keuangan saat ini tidak begitu agresif, nilai indeks saham di hampir semua bursa dunia masih di bawah kinerja tahun sebelumnya. Artinya, pasar modal saat ini belum menjadi pilihan, pelaku pasar memilih komoditas emas.
“Pelaku pasar melihat pasar mana yang paling agresif atau paling membukukan keuntungan dan komoditas terutama emas menjadi pilihan karena secara jangka pendek-menengah akan menguntungkan,” ujar dia.
Lucky Bayu mengungkapkan tren kenaikan harga emas akhir-akhir ini pada akhirnya menjadi barometer bagi para pelaku pasar bahwa potensi kenaikan harga komoditas masih cukup dinamis. Hal ini yang kemudian akan membuat harga sejumlah komoditas dunia pun akan menuai tren harga positif.
“Kenaikan harga emas menjadi barometer bahwa ada tren positif untuk pasar komoditas. Kenaikan harga emas akan disertai kenaikan harga komoditas lain, terutama minyak mentah dan CPO,” ungkap dia.
Sementara itu, Roy Sembel memperkirakan harga CPO dan pangan pokok juga akan mengalami tren perbaikan pada awal semester II 2016. CPO yang dimanfaatkan sebagai bahan energi akan mengalami peningkatan konsumsi seiring penggunaannya sebagai energi terbarukan di sejumlah negara, terutama Indonesia. Konsumsinya juga akan meningkat sebagai bahan pangan.
“Begitupun dengan konsumsi pangan pokok, terutama gandum, akan mengalami kenaikan harga seiring perbaikan ekonomi AS, juga meningkatkan jumlah masyarakat kelas menengah. Untuk minyak akan terus ada perbaikan, kalau ini terjadi maka akan makin mengerek harga komoditas dunia lainnya,” jelas Roy Sembel. 

sumber:beritasatu.com